SAMPANG, Pilarpos.id – Nama Sampang tidak lepas dari kisah perjalanan Raden Jokotole bersama istrinya Dewi Ratnadi. Dalam perjalanan pulang dari Majapahit ke Sumenep, mereka menelusuri wilayah utara Madura. Saat tiba di Omben, mereka berbelok ke selatan hingga sampai di Kampung Banyubanger.
Dalam perjalanannya, banyak wilayah yang tidak mereka lewati. Masyarakat Madura menyebutnya dengan istilah “e sempange”, dari kata dasar “sempang”, yang kemudian berkembang menjadi “Sampang”.
Cerita ini telah menjadi bagian dari tradisi tutur masyarakat setempat sejak zaman dahulu. Nama Sampang mulai populer pada masa kekuasaan Adipati Pramono, yang dikenal dengan gelar “Adipati Pramono Penguasa Sampang”. Pada masa penjajahan Belanda, Sampang ditetapkan sebagai wilayah kecamatan dan berkembang menjadi kabupaten seperti sekarang.
Sekarang, Sampang menjadi pusat pemerintahan dengan 14 kecamatan. Di bawah kepemimpinan Adipati Pramono dan Pangeran Cakraningrat I, wilayah ini dikenal aman, subur, dan makmur. Kehidupan masyarakat harmonis, petani giat bercocok tanam, dan hutan-hutan lebat memberikan kesejukan serta kedamaian.
Suasana alamnya digambarkan seperti meja besar yang ditutupi kain hijau atau “tapplak“, menurut orang Madura. Kesan “hijau royo-royo” menjadi ciri khas Sampang kala itu.
Pada era 1980-an, pemerintah melalui Proyek Perencanaan dan Pelaksanaan Reboisasi Penghijauan Daerah Aliran Sungai Madura Cabang Sampang (P3RPDAS) melakukan penghijauan besar-besaran di Sampang. Ditemukan pohon-pohon besar seperti jati, waringin, mangga, dan lainnya di berbagai wilayah, menunjukkan kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati.
Beberapa daerah seperti Desa Nepa dan Gunung Eleh menjadi habitat kera, sedangkan Mandangin menjadi tempat hidup kijang. Sayangnya, akibat eksploitasi besar-besaran oleh Belanda dan Jepang, hutan dibabat habis, membuat tanah tandus dan banyak hewan punah.
Temuan ini menunjukkan bahwa Sampang di masa kerajaan merupakan wilayah yang makmur dengan kekayaan alam yang mendukung kehidupan masyarakat. Keamanan dan kesejahteraan menjadi gambaran kehidupan warga saat itu.
Sumber: Dikutip dari dimadura.id
Penulis: Agus Junaidi
Editor: Amir Sholeh
Publisher: Redaksi